TAKDIR KAPAL

Sejak pandemi ini, kami memang jarang bepergian ke luar rumah apalagi ke luar kota. Kalaupun sesekali harus keluar, hanya untuk menghadiri acara keluarga dan sahabat dekat. Hari ini kami memutuskan melakukan perjalanan ke Desa Teluk Dalam, sebuah desa dimana terdapat salah satu objek kawasan religi yaitu Makam Syekh Abdurrahman Siddiq atau yang biasa disebut dengan Tuan Guru Sapat.

Sebenarnya ada 2 pilihan jalur perjalanan ke lokasi ini, bisa melalui jalur sungai maupun jalur darat menggunakan sepeda motor. Dari kedua pilihan tersebut, kami memilih menggunakan jalur darat menggunakan sepeda motor. Setidaknya banyak pemandangan yang bisa kami nikmati sepanjang perjalanan. Kami berangkat jam 8 pagi saat matahari belum naik meninggi. Kami memilih waktu pagi yang masih menyisakan kesejukan, karena kepergian kami bersama si sulung dan si bungsu, Ahmad dan Ara.

Perjalanan kami diisi dengan obrolan ringan terutama Ahmad yang memang selalu banyak pertanyaan, khas anak-anak menjelang usia baligh. Konten pertanyaannya beragam, mulai perihal jalan yang berlubang, genangan air dimana-mana, gedung PLTU dan listrik yang masih sering mati, rumput yang meninggi di pinggir jalan, orang menanam padi, monyet lagi santai di jembatan dan hal-hal lain yang mungkin menurut ukuran orang dewasa tidaklah terlalu penting. Barangkali itulah rahasia usia, masing-masing tingkatannya punya sudut pandang berbeda. Hal yang dianggap penting menurut anak SD mungkin hanyalah hal sepintas lalu bagi orang dewasa. Pun sebaliknya, hal-hal yang penting menurut orang dewasa tak pernah ditanggapi serius oleh anak-anak kecil.

Obrolan-obrolan ringan itu akhirnya menghantarkan kami ke penyeberangan terusan mas. Di sini kami harus menaikkan motor ke dalam perahu bermesin yang lazim disebut pompong oleh orang-orang di sini. Aku dan anak-anak turun dari motor. Selanjutnya abang (suamiku) mengantarkan motor kami untuk dijejerkan menunggu antrian untuk diangkat beberapa orang anak muda ke dalam pompong. Kami harus menunggu beberapa antrian sampai giliran motor kami yang diangkat.

Pemandangan di sekitar penyeberangan ini cukup menarik minat kedua anak kami. Si bungsu tak berhenti tersenyum menghirup udara segar di sekitar mangrove yang tumbuh subur. Sementara si sulung tak henti-hentinya bertanya mengenai apa saja yang dilihatnya. Dari sekian banyak pertanyaannya, si sulung agak detail menanyakan perihal kapal yang disaksikannya sedang tersandar di lumpur kepada Ayahnya.

“Ayah, kapal itu kenapa? apakah kapal itu rusak? kenapa dia berhenti?” tanya Ahmad.

“Mungkin sedang rusak nak, atau sedang menunggu penumpang” jawab abang sekenanya.

“Menunggu penumpang kok tak di pelabuhan, yah”, potong si sulung

“Iya, ya” ucap ayah sambil tersenyum

“Kapalnya bagus ya yah? boleh abang ambil fotonya? pinjam HP ayah!” pinta Ahmad

“Boleh nak” jawab abang sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya

Beberapa foto diambil Ahmad sembari menunggu antrian penyeberangan motor.

“Ini yah, keren kan kapalnya bersandar di pinggir sungai” seru Ahmad dengan antusias sambil memperlihatkan hasil fotonya kepada Abang. Sementara aku masih siaga menatap langkah demi langkah si bungsu.

“Memang keren nak, tapi bukan untuk itu kapal dibuat. Kapal itu diciptakan untuk jadi pejuang bukan pajangan” sahut Abang dengan perlahan

“Hmmmmh …” gumam Ahmad sambil memegang kepalanya.

Dialog Abang dan Ahmad terhenti ketika orangĀ  yang mengangkat sepeda motor memberi aba-aba bahwa giliran motor kami diangkat ke atas pompong. Kami berempat ikut naik. Di pompong, abang yang memegang motor. Sementara aku dan anak-anak duduk di sisi depan pompong. Walau belum jam 9 pagi, panas lumayan terik. Sesekali Ara menyeka keringat. Tak ada kerutan gelisah di wajahnya karena kepanasan. Hanya sumringah terpancar di wajahnya.