AWAN YANG MENGHANTAR HUJAN

Seusai sholat subuh abang duduk di depan rumah sambil mengulang beberapa hafalannya. Aku dan anak-anak di dalam rumah sedang mempersiapkan perbekalan ke kebun. Langit kembali gelap seperti beberapa hari kemaren. Aku berharap ketika waktu beranjak siang, awan-awan ini bisa menepi sejenak. Sudah beberapa hari ini karena mendung yang berujung hujan, kami sekeluarga terpaksa menunda perjalanan kami ke kebun. Jarak dari rumah kami ke kebun yang cukup jauh tidak memungkinkan kami melakukan perjalanan ke kebun dalam kondisi hujan. Apalagi kami menggunakan sampan untuk menuju kebun.

Kekhawatiran kami yang lain yang tak kalah pentingnya adalah kebun kami yang berada agak jauh dari muara parit. Parit yang melalui kebun kami sudah sangat dangkal terutama di bagian pertengahan menjelang ke kebun kami. Sehingga sedikit hujan saja sudah cukup menggenangi kebun selama berhari-hari karena saluran yang menjalankan fungsi drainase pada kebun kami sudah tidak berfungsi maksimal. Pada saat pasang besar, air pun masih masuk ke kebun.

“Bang, kita jadi ke kebun” suaraku menyadarkan abang dari lamunannya sesaat. Di luar langit semakin kelabu. Tak ada lagi ruang untuk warna biru.

“Sepertinya tak jadi lagi, awan semakin menebal. Mungkin tak lama lagi hujan. Nanti bekalnya kita makan sama-sama aja di rumah, dek” lirih suara abang karena khawatir mengecewakan aku dan anak-anak yang beberapa hari ini memang dijanjikan untuk melihat kebun kami yang sebagian sudah rusak. Menurut beberapa kerabat kami yang sering ke kebun, hanya separuhnya saja kebun kami yang masih berbuah normal. Sebagian yang lain, buahnya semakin mengecil. Abang tak pernah bercerita detail mengenai kondisi kebun kami, mungkin abang khawatir membuat kami kecewa.

Hujan pun datang mengguyur desa kami. Aku bergegas masuk ke dalam sembari membuka bekal yang sedianya akan kami bawa ke kebun. Pagi itu kami sarapan bersama di rumah bersama kedua buah hati kami yang tak berhenti tersenyum sumringah. Tak ada kekecewaan di wajah mereka.

“AbangĀ  mandi hujan ya yah?” pinta si sulung kepada ayahnya

“Ya boleh, jangan lama-lama” ujar Abang sambil menoleh ke arah si sulung yang sudah siap-siap membuka bajunya.

Setelah beres-beres dapur, aku menemani abang dan si bungsu menonton si sulung mandi hujan.