DUDUK TAK SELALU LAPANG

Siang itu aku pulang ke rumah seperti biasa. Jam istrahat siang selama 1 jam selalu kugunakan untuk makan, sholat dan memeriksa keadaan anak-anak. Meski tak terlalu jauh, namun antara rumah dan tempatku bekerja terpisah sungai yang cukup lebar. Tak ada jembatan di sana. Hanya ada 1 sampan yang biasa kami gunakan bergantian. Ketika aku akan sampai ke tempat penyeberangan yang biasa digunakan, dari kejauhan  kulihat sampan baru akan mendekat.

Perlahan, aku duduk di tepi pangkalan kayu, menunggu sampan itu tiba. Angin siang membawa bau tanah gambut dan semilir angin—aroma khas dari sungai ini yang mengalir tenang, seolah menyimpan cerita di dasar arusnya. Dari seberang, kulihat Pak Andi, tetangga sebelah bedeng, sedang mengayuh sampan. Di dalam sampan, tampak beberapa pekerja lain, wajah-wajah letih yang barangkali sama denganku: menelusuri harapan di tengah keterbatasan.

Tiga bulan sudah kami tinggal di sini. Di balik sawit yang rimbun dan sunyi, kami merencanakan cita-cita kecil dalam diam. Rumah kami cuma bilik kayu beratap seng, yang katanya aman dari genangan. Tapi bila hujan turun, air meluap perlahan seperti kenangan—diam-diam masuk ke dalam rumah, menggenang di ruang tamu, dan mengingatkan kami bahwa ini bukan tempat menetap, hanya tempat singgah yang sedang kami perjuangkan.

Sambil menunggu sampan merapat, ingatanku melayang ke hari kami memutuskan pindah. Kala itu, aku dan Rina duduk bersisian di atas dipan sempit kontrakan tua di kota. Anak pertama kami baru lahir, dan tagihan air dan listrik semakin terasa memberatkan bagi kami yang memiliki pekerjaan belum mapan. Ia menatapku dengan mata yang lelah tapi penuh percaya, “Kalau memang harus pindah ke kebun, aku ikut. Yang penting kita tetap bersama.”

Aku tak menjawab waktu itu. Hanya menggenggam jemarinya yang dingin. Dan malam pun bersaksi, bahwa keluarga kecil ini akhirnya memutuskan bertaruh nasib di tengah perkebunan sawit tempatku bekerja saat ini.

Hari-hari berlalu. Rina tetap setia menyambutku dengan secangkir kopi hangat dan senyum yang makin hari makin manis kulihat. Anakku tertidur di buaian yang kami ikatkan ke kayu di pintu kamar, aku memutar beberapa lagu yang sempat kusimpang di smartphone ku.

“Duduk tak selalu lapang,” begitu kata ayahku dulu. “Terkadang kita harus merunduk, menahan sesak, dan tetap bertahan di tempat yang sempit… sampai waktu membawa kita ke ruang yang lebih lapang.” Kini aku mengerti maksudnya.

Sampan akhirnya tiba. Aku melangkah mulai bekerja, berjalan dengan para pekerja lain yang diam, mata mereka memandang jauh, barangkali sedang menakar hari esok. Aku genggam erat bekal makan siangku—nasi, telor dadar, dan kasih sayang istriku. Dan di seberang sana, di depan rumah kayu yang sederhana, ada dua pasang mata yang selalu menungguku pulang.

Sore itu, setelah jam kerja usai dan keringat mulai kering di balik baju lusuhku, aku duduk berdua dengan Rina di depan rumah. Di kejauhan, matahari perlahan tenggelam di balik hamparan sawit.

“Mas,” katanya pelan, “kemarin aku dengar dari Ayah, ada lowongan kerja di Guntung, Pabrik Pengolahan Kelapa. Selain untuk laki-laki ada juga peluang kerja untuk perempuan. Gajinya tak seberapa, tapi ada kontrakan, listrik dan air bersih, sekolah anak-anak juga dekat. Beberapa tahun lagi anak kita mungkin sudah harus sekolah”

Aku terdiam. Pandanganku menyapu hamparan sungai di depan rumah kami, Tempat ini telah menjadi saksi perjuangan kami—tapi bukan berarti harus labuhan terakhir kami.

Malam itu aku merenung lama. Segelas kopi sudah kuhabiskan malam ini, suatu yang jarang kulakukan. Biasanya aku hanya meminum kopi di pagi dan siang hari. Di bawah langit penuh bintang malam ini, aku berpikir tentang arti bertahan dan keberanian mengambil keputusan. Tentang bagaimana orang-orang seringkali memaksa diri tinggal di tanah yang tak memberi teduh, hanya karena takut melangkah.

Pindah bukan berarti kalah. Kadang, justru itu bentuk paling jujur dari mencintai keluarga—memberi mereka tempat yang lebih layak. Bukan tak bersyukur, hanya mencari alternatif yang lebih nyaman. Apalagi keluarga besar istri memang menetap di Guntung.

Besok pagi aku akan ke kantor mandor. Aku akan bicara. Bukan dengan kemarahan, tapi dengan perasaan seorang ayah dan seorang suami yang ingin membahagiakan keluarganya. Aku beranjak ke kamar untuk istrahat. Istri dan anakku sudah terlelap kelelahan.