
Pagi itu, saat langit di depan rumahku masih berselimut embun dan suara burung bersahutan dari pohon kelapa yang menghampar, ponselku bergetar pelan. Satu pesan masuk.
“Ingat ini?”
Aku membuka lampiran pesan itu, dan foto itu menarikku ke belakang.
Foto itu—kita, berdua, masih berseragam pramuka. Aku mengenakan jilbab cokelat tua, dan kau di sebelahku, aku memegang setang sepeda kuning itu dengan satu tangan, tangan lainnya memegang sepedamu. Kita pulang sekolah, menyusuri jalan raya di antara ilalang tinggi, di bawah langit yang dengan lukisan awan senja.
Air mataku jatuh sebelum aku sempat tersenyum.
Sudah hampir enam tahun sejak kita terakhir bicara. Bukan karena lupa. Bukan karena tak sempat. Tapi karena luka yang belum sempat sembuh.
Kami tumbuh bersama sejak kecil. Nama kami selalu berdekatan di absen sekolah. Rumah terpaut 2 buah jembatan. Kau tahu semua rahasiaku, bahkan sebelum aku mengerti apa itu rahasia. Dan sepeda kuning itu—menjadi saksi setiap cerita : dari tertawa soal kelucuan-kelucuan di sekolah, hingga diam-diam menangis karena kesal dengan teman-teman di sekolah.
Lalu semua berubah di tahun terakhir SMA. Kau dapat beasiswa ke Pekanbaru. Sementara aku tidak.
Aku iri. Tapi lebih dari itu, aku merasa ditinggalkan. Mungkin aku tidak cukup baik untuk dibawa dalam rencanamu. Mungkin kampung ini memang hanya milik mereka yang tak bersayap.
Kita bertengkar hari itu. Di simpang jalan dekat lapangan bola. Kau menatapku lama, lalu pergi tanpa pamit.
Dan sejak itu… hening.
Hari ini, kau kirimkan foto itu.
Tiba-tiba aku tahu, betapa sepeda itu masih ada. Bukan yang berkarat di gudang rumahmu, tapi yang tersimpan utuh dalam ingatanku.
Aku membalas pesanmu:
“Aku ingat. Dan aku masih menyayangkan perpisahan itu.”
Air mataku jatuh lagi. Tapi kali ini ada hangat yang menyertainya.
Petang itu, aku ke belakang rumah. Sepedaku—yang dulu kubeli dari tabungan sendiri—masih kusimpan. Rantai sudah kaku, kursi nya mulai sobek. Tapi ban belakangnya… masih kuat.
Kupompa pelan. Kubersihkan debu di beberapa bagiannya. Lalu aku mengayuhnya ke ujung jalan tempat kita biasa berpisah pulang.
Dan entah mimpi atau nyata, di kejauhan, kulihat siluetmu. Dengan jilbab yang masih sama warnanya. Dan di sebelahmu… sepeda kuning itu.
Langit tak banyak berubah karena sejatinya begitulah langit. Jalanan semakin ramai.