PAYUNG KUNING DI SUNGAI LAHANG

Langit Kuala Lahang diguyur hujan gerimis pagi itu. Tidak terlalu deras, hanya rintik kecil yang menambah dingin udara dan mengaburkan bening air sungai. Di tengah sungai, sebuah sampan kayu bergerak perlahan, seolah tak ingin mengganggu keheningan semesta.

Farhan dan Nurul duduk berdampingan. Farhan memayungi istrinya dengan payung kuning bermotif bunga yang dulu dibawa Nurul dari desa asalnya. Tak sekadar pelindung dari hujan. Ia juga tentang perhatian kecil yang menjaga, tentang cinta yang tersampaikan dalam hening.

“Terima kasih sudah ikut, dek” kata Farhan, pelan.

Nurul menatapnya sambil tersipu, pipinya sedikit memerah terkena udara dingin. “Kau bilang, sungai ini bagian dari hidupmu. Aku ingin jadi bagian darinya juga.”

Di ujung sampan, Pak Leman, seorang pengayuh yang disegani, membawa mereka menyeberang sungai menuju Kuala Lahang, pulang dari salah seorang kerabat di Desa Lahang Baru. Bagi Farhan, Sungai itu penuh kenangan. Farhan ingat betul, dulu ia sering duduk di tempat yang sama bersama almarhum kedua orang tuanya. 

Mereka tak banyak bicara. Di antara suara air yang dipukul sepasang kayuh dan angin dari pohon-pohon dari sekitar sungai, keheningan menjadi bahasa paling jujur.

Tiba di tengah sungai, Pak Leman menghentikan sampan. Ia tahu, pasangan muda itu ingin menikmati panorama dari tengah sungai. “Kalau kalian mau ambil foto, ini tempatnya bagus,” katanya singkat.

“Sungai ini seperti kita, ya,” ucap Nurul tiba-tiba, “tenang, tapi terus mengalir.”

Farhan menoleh, memandang dalam mata istrinya. “Selama kamu di sampanku, aku tak takut ke mana pun arah arus membawa.”

Payung kuning itu tetap terbuka, melindungi dua hati yang kini saling menguatkan. Hujan tak jadi halangan. Sebab cinta mereka tumbuh, justru di antara gerimis yang meneduhkan.