CUCI TANGAN

Sore ini aku dan abang mengajak si sulung, Ahmad ke dokter. Sudah beberapa hari ini dia demam dan batuk. Sejak pandemi memang kami tak terlalu sering ke dokter. Bukan hanya karena jarang sakit, tapi juga karena rumah sakit/klinik merupakan salah satu tempat yang rawan terjadinya penularan covid-19. Tak heran di awal pandemi praktek dokter pun sebagian besar diinstruksikan untuk tutup. Pun setelah setahun lebih pandemi, praktek dokter buka dengan waktu yang terbatas dan prosedur kesehatan yang ketat.

Seperti biasa, dalam jeda waktu dan ada kesempatan bicara, Ahmad selalu menanyakan banyak hal yang kadang menggelitik nalar. Untunglah ayah nya selalu siap dengan jawaban-jawaban singkat yang kadang dikemas dalam canda dan sekenanya tetapi tetap bisa memuaskan Ahmad.

“Ayah, Bunda, sekarang kok dimana-mana banyak tempat cuci tangan ya” tanya Ahmad kepada kami. Pertanyaan yang sebenarnya bukanĀ  pertanyaan sulit. Pertanyaan yang mungkin saja sudah lama ingin ditanyakan Ahmad.

Aku hanya tersenyum, abang yang menjawab pertanyaannya “ya cuci tangan kan bagus nak, karena tangan kita adalah bagian tubuh yang paling banyak menyentuh barang-barang di sekitar”

“Terus kenapa” potong Ahmad.

“Barang-barang itu kan banyak kumannya nak, jadi sebelum kita menyentuh makanan atau wajah, kita harus mencuci tangan terlebih dahulu” lanjut abang menjelaskan.

“2 Tahun yang lalu, kuman nya belum ada ya yah? Kayaknya 2 tahun lalu, di tempat dokter ini belum ada tempat cuci tangan kayak gini, biasanya cuma pas kita mau makan aja. Tempat cuci tangannya pun tak seperti ini” Ahmad mulai agak serius menanggapi

Abang berfikir sejenak, sepertinya abang tak ingin membicarakan covid-19 secara mendalam dengan Ahmad, makanya pertanyaan Ahmad dijawab secara umum saja. Jawaban ini justru mengundang pertanyaan selanjutnya dari Ahmad. Pertanyaan yang sebenarnya tak diduga abang. Menurut pengamatanku, anak-anak jelang usia Baligh seperti Ahmad adalah pengamat yang baik. Menyiapkan contoh yang baik bagi mereka adalah tantangan terbesar bagi para orang tua. Sementara orang tua juga kadang punya momen-momen labil juga.

“Ada kuman jenis baru nak, yang berbahaya. Namanya Covid-19” jawab Abang singkat. Kami memang selalu menggunakan istilah kuman untuk menyebut makhluk kecil yang tak terlihat oleh mata. Sepertinya agak rumit, kalau kami harus menyebut istilah bakteri, virus dan varian lainnya kepada anak-anak seusia Ahmad. Ahmad berfikir agak lama seperti ingin bertanya lagi, memperdalam jawaban ayahnya.

“Ahmad” sahut perawat memanggil si sulung. Pembicaraan kami terpotong karena tiba giliran kami untuk ke ruangan dokter.