PULANG KAMPUNG

Jam tangan ku sudah menunjukkan pukul 4 sore. Aku bergegas mengikat tali sepatu. Langit sudah gelap tertutup awan. Sore ini selepas perkuliahan aku memutuskan untuk sholat ashar di masjid kampus. Setelah sholat ashar aku menyempatkan menyapa beberapa teman yang sudah lama tak bertemu. Sejak pandemi, masjid kampus memang tak seramai biasa. Beberapa pertemuan mata kuliah masih ada yang menerapkan pembelajaran daring. Kondisi ini membuat aku jarang bertemu dengan teman-teman kampus apalagi yang berbeda jurusan. 

Dalam perjalanan pulang melewati gedung-gedung kampus berlantai lima, selintas aku mengingat kedatanganku pertama kali ke kota ini 3 tahun yang lalu. Waktu itu ayah yang mengantarku. Meski waktu itu Aku maupun Ayah baru pertama kali menginjakkan kaki ke kota ini, tak ada raut ragu di wajah Ayah. Justru aku yang banyak khawatir. Bahkan ketika ayah pulang setelah registrasi perkuliahan selesai, aku sempat khawatir terjadi sesuatu pada ayah di perjalanan. Butuh perjalanan 2 hari 2 malam dari kota ini untuk balik ke kampung halamanku melalui jalur darat.

Tahun ini, perkuliahanku sudah memasuki semester 6. Di antara teman-temanku, aku termasuk yang jarang pulang kampung karena jarak tempuh yang cukup jauh dan biaya yang tak sedikit. Biasanya aku mengambil kesempatan liburan idul fitri untuk pulang kampung. Tahun lalu aku tak bisa pulang kampung karena memang ada pembatasan mudik karena pandemi. Meskipun belum ada kejelasan regulasi, tahun ini pun sepertinya akan berlaku hal yang sama terkait pembatasan mudik. Tak ada tanda-tanda pandemi ini mereda meskipun kebijakan vaksinasi sudah berjalan sebagian. 

Tadi sewaktu di kampus, si bungsu mengirimkan pesan singkat kepadaku, katanya ibu ingin bicara. Sesampainya di kost, aku langsung mandi. Semua baju yang kupakai di kampus langsung kucuci. Sejak setahun terakhir, kebiasaan ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Aku pun sudah terbiasa. Tak terasa bulan sya’ban sudah terlampaui sepertiga. Artinya 20 hari lagi bulan ramadhan. Sebelum pandemi, momen bulan sya’ban adalah momen spesial penantian pulang kampung. Bahkan sekedar menantikan saat pulang kampung pun terasa sangat istimewa bagi kami yang tinggal di perantauan. 

Jam 5 sore, aku selesai mandi dan mencuci pakaian. Aku langsung teringat pesan singkat si bungsu tadi. Aku langsung menelpon mamak. Sore ini aku bercerita banyak dengan mamak. Mamak bercerita tentang kebun pinang kami yang terendam dan sekolah kedua adikku. Sejak ayah meninggal mamak harus mengelola sendiri kebun kelapa dan pinang yang diwariskan ayah. Sesekali suara mamak terasa agak berat seperti menahan tangis. Si bungsu yang beranjak remaja sesekali menyela pembicaraanku dengan mamak. Hampir 2 tahun kami tak berjumpa langsung. Bagi aku, mamak maupun adik-adik ada kerinduan luar biasa. Terlebih sejak ayah meninggal dunia, kehadiranku sebagai anak sulung sangat dinantikan adik-adikku. Bagiku pulang kampung juga menjadi momen melepas rindu dengan keluarga. Istrahat sejenak melepas segala beban perkuliahan yang semakin berat. 

Rumah kami di kampung terletak di tepi sungai. Ketika masih bersekolah tsanawiyah, selepas subuh di bulan ramadhan aku dan kawan-kawan duduk di depan rumahku sambil menikmati panorama sungai di subuh hari sampai matahari terbit. Di kejauhan terlihat pompong maupun sampan lewat menuju lokasi kebun. Di bulan ramadhan biasanya warga desa hanya bekerja di pagi hari. Menjelang siang sampai sore mereka menghabiskan waktu di rumah.

Adzan maghrib menyadarkanku dari lamunan jauh menerobos ruang dan waktu. Selepas menelpon mamak tadi, aku terbawa lamunan beberapa saat. Aku bergegas berwudhu dan mengganti pakaian. Posisi surau yang tak jauh dari rumah memang membuat suara adzan begitu terdengar jelas bahkan sampai seisi kamar melebihi suara alarm ponsel.